Selasa, 26 Juni 2012

Tentang rasa........

Entah apa yang ada dalam jiwa ini,
selalu saja menemukan kerinduan dan keindahan itu pada seseorang
yang   hampir setiap harinya tidak pernah ada dalam ujud nyata.
meski selama ini kami lebih sering memberikan dan menikmati semua kerinduan
dalam bentuk rasa dan pikiran yang jauh melampaui raga

Rindu dan cinta itu tak terbatas bagi jiwa ini
karena rindu selalu saja hangat tersimpan dalam hati ini
karena cinta juga, kami dijadikan saling memahami
bahwa sejatinya cinta itu datang dan mengalir tanpa bisa dipaksakan
cinta bagi kami sebuah rasa yang hangat dan saling mengerti

dalam rindu dan cinta kami tak mengenal salah dan benar
karena benar dan salah adalah logika
tapi cinta kami adalah rasa
dan kubiarkan seluruh rasa ini bersemayam indah dalam hati
dalam kerinduan yang akan selalu kujaga

Jujur,....
rindu tak pernah luntur ..
bahkan semakin luluh dalam keseharian cinta
cinta yang kauberikan
rindu yang diindahkan


: Kutulis ketika rindu dan cinta kian menjadi...

Sabtu, 31 Desember 2011

harapan tahun baru

tahun ini harapanku adalah ;
1. ada orang yang akan mencintaiku sepenuh hatinya dan menikahiku, amiiiiin
2. karirku akan semakin menanjak tanpa ada halangan dan rintangan, amiiiiin
3. rejekiku dibukakan agar dapat memberikan nafkah buat keluargaku dan  senantiasa bisa membahagiakan ibu, amiiiiiiin
4. Keluargaku diberikan kesehatan dan selalu berada dibawah lindunganNYA, amiiiiiiin
5. selalu didekatkan pada Allah SWT, amiiiiin

Senin, 26 Desember 2011

Kajian HAM tentang Sistem Peradilan Militer di Indonesia


Indonesia adalah Negara hukum yang  berasaskan pada Pancasila dan mengakui hak asasi manusia.  Perlindungan, pernghormatan dan penegakan HAM di Indonesia di perkuat dalam empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang memasukkan pasal-pasal HAM dan prinsip pelaksanaannya, yaitu Pasal 28A-Pasal 28J dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XA tentang HAM dan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Reformasi yang berkembang saat ini mengisyaratkan adanya beberapa perubahan dalam segala bidang khususnya dalam sistem peradilan di Indonesia, sistem peradilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Komnas HAM melakukan upaya untuk melakukan pengkajian secara khusus mengenai Undang-Undang Peradilan Militer yang mencakup peraturan perundang-undangan, proses pengadilan militer sampai pada pembinaan serta implementasinya yang harus selaras dengan penegakan HAM dan konstitusi.

Terdapat beberapa ketentuan yang seharusnya mendasari TNI untuk tunduk pada peradilan umum dimulai dengan adanya Ketetapan No. VII/MPR/2000 memuat ketentuan-ketentuan bahwa anggota TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum (Pasal 3 ayat (4a). Namun, jika kekuasaan peradilan umum yang dimaksud Pasal 3 ayat (4a) tersebut ini tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang (Pasal 3 ayat (4b). Dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI pada Pasal 65 (2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang; (3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.

Jurisdiksi pengadilan militer sebenarnya adalah pada perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hukum perang dan pidana militer. Namun di Indonesia, jurisdiksi pengadilan militer kerap mencakup perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan atas pidana sipil dan menjadi satu-satunya pengadilan yang berhak mengadili prajurit-prajuritnya yang melanggar hukum pidana sipil karena belum diakuinya semua hak asasi manusia dalam berbagai ketentuan peraturan perundangan dan lembaga peradilan yang belum independen artinya kekuasaan kehakiman yang merdeka, berdiri sendiri tanpa campur tangan pihak manapun. 

1.2.         Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini berangkat dari hipotesis hilangnya rasa keadilan bagi korban (yang bukan militer) akibat proses peradilan militer yang disinyalir tidak memberikan hukuman sesuai dengan prinsip keadilan terhadap pelaku militer yang melakukan kejahatan pidana (biasa). Dengan mengangkat permasalahan “Mengapa tindak pidana umum yang dilakukan militer harus diproses di pengadilan umum?”

Prinsip Peradilan Berperspektif HAM kaitannya dengan Peradilan bagi Pelaku Pidana Umum dari Kalangan militer
Beberapa peraturan perundang undangan yang ada saat ini dapat dianggap mendukung upaya mengadili anggota militer yang melakukan tindak pidana umum untuk diadili dalam peradilan umum. Namun dalam praktiknya legislasi tersebut tidak dapat di implementasikan sebagaimana mestinya. Peraturan perundang undangan tersebut antara lain Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan  Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada bagian yang menyebutkan mengenai susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, yaitu Pasal 3 (4) a dan b, pasal 65 ayat (2) Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia, pasal 17 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 16, pasal 25 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan perundangan-undangan di atas melegitimasi bahwa sesungguhnya pelanggaran hukum pidana umum, termasuk di dalamnya tindak pidana umum, yang dilakukan oleh prajurit militer seyogyanya dilakukan dalam lingkup peradilan pidana umum jadi tanpa melihat subyek pelakunya tapi berdasarkan delik atau kejahatan yang dilakukan. 

Perundang–undangan ini dapat dinyatakan sebagai upaya pelaksanaan jaminan prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak.  Berdasarkan ketetapan tersebut, maka pelaku tindak pidana umum yang berasal dari kalangan militer akan mendapatkan hak–haknya sebagaimana tercantum dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners  dan The Body Principles for the Protection of All Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment

Pelaku tindak pidana umum dari kalangan militer yang diadili akan mendapatkan sistem peradilan yang terbuka untuk umum sehingga proses peradilan dapat transparan dan akuntabel pengadilan. Proses tersebut akan dapat menjamin hak–hak terduga pelaku. Data wawancara dengan korban yang diperoleh Tim Komnas HAM menunjukkan bahwa secara normatif sistem peradilan untuk tindak pidana umum yang diadili melalui proses peradilan militer dinyatakan terbuka, namun pada praktiknya hal itu tidak terjadi. Sering kali korban tidak dapat secara langsung melihat proses peradilan tersebut[1] karena kondisi yang tidak kondusif. Tidak kondusifnya peradilan militer tersebut membuat tidak terjaminnya prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak.

Begitupun halnya dengan prinsip kemandirian dan imparsialitas. Pelaku tindak pidana umum baik dari warga sipil maupun militer berhak mendapatkan proses peradilan mulai dari penyelidik, penyidik, penuntutan dan putusan yang mandiri dan imparsial. Proses yang memiliki polisi, jaksa, dan hakim yang tidak dapat diintervensi oleh legislatif, eksekutif maupun pihak–pihak lainnya. Jika pada peradilan militer pelaku tindak pidana akan diproses dengan cepat karena alasan kasihan pada korban,[2] maka hal ini menunjukkan bahwa ada persoalan paradigma pada hakim akan proses peradilan. Hal ini dapat berakibat pada tidak mandiri dan imparsialnya pengadilan militer yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak–hak pelaku dan korban.

Prinsip pemulihan efektif menjamin adanya sistem koreksi yang tepat, hal ini hanya dapat dimungkinkan jika putusan yang memberikan hukuman yang tepat bagi pelaku, dan pemberian reparasi bagi korban.[3] Data Komnas HAM menunjukkan bahwa seringkali putusan yang diberikan pada pelaku militer yang tidak memenuhi rasa keadilan korban. Salah satu contohnya adalah adanya:

Argumentasi Keberatan TNI tentang Pemidanaan Umum Bagi Tindak Pidana yang Dilakukan Militer
1. Dasar Hukum ; Eksistensi dan Yurisdiksi Peradilan Militer
Peradilan militer adalah peradilan di wilayah lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. Peraturan tersebut menjadi dasar hukum eksistensi peradilan militer yang memiliki yurisdiksi tertentu sebagaimana ditetapkan oleh UU tersebut.
Perlu adanya pemahaman yang sama yang berdasar pada pasal 24 UUD 1945 bahwa  kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tempat peradilan di bawahnya yaitu peradilan militer. Kemudian dasar hukum ini dilanjutkan dengan UU Peradilan Militer mengenai penyelesaian administrasi negara dan tindak  pidana oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang akhirnya dilanjutkan dengan UU Peradilan Militer 31 tahun 2007.[4]

Terkait dengan pasal 3(4) huruf a dan b Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pasal 65 ayat (2) Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia yang isinya menyerahkan militer yang melakukan tindak pidana umum ke peradilan umum.

Ada beberapa anggapan terutama tentang Undang-undang 34 tahun 2004 tentang TNI yang dibuat oleh anggota legislatif berdasarkan emosional sesaat karena adanya ketidakpuasan akan beberapa kasus, dan jika dirubah UU tentang peradilan militer maka dikhawatirkan akan lebih berbahaya jika tindak pidana yang dilakukan oleh militer dipindahkan ke peradilan umum.[5]

Wacana perubahan ini dianggap juga sebagai wacana yang memaksakan kehendak, namun harus dilihat dulu mana yang harus dirubah dan mana yang tetap bisa dipertahankan. Militer memiliki karakter dan kultur yang khusus dan berbeda sehingga sulit untuk menyesuaikan kultur dan bagaimana dengan aparat yang melakukan penyidikan ini akan menjadi masalah baru.[6]

2. Proses di Peradilan Militer Sama Dengan Proses di Peradilan Umum
Dengan dasar hukum sebagaimana tersebut di bagian atas, Peradilan militer juga tunduk dan patuh terhadap hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Peradilan militer dibuat dengan tujuan agung untuk menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Maka prinsip-prinsip dalam peradilan secara umum juga berlaku di peradilan militer.

Sejauh ini, diakui oleh beberapa informan yang ditemui oleh tim bahwa peradilan militer sama dengan peradilan umum. Dasar hukumnya ditetapkan oleh Undang-undang. Pelaksanaannya juga dilakukan untuk menjamin  supremasi hukum dan keadilan. Contoh kasus yang diputuskan pada peradilan militer medan meningkat dari waktu ke waktu. Tahun 2000 ada 23 perkara, kemudian perkara yang masuk sampai dengan April 2011, ada 100 perkara sedangkan perkara yang ditangani ada 123 dan  sampai dengan saat ini perkara yang dapat kami selesaikan 112. Itu ada 11 perkara. Kemudian ada persentase perkara, Tiap triwulan kami selalu mengadakan evaluasi , terhadap perkara yang ditangani, untuk persentase perkara 2011, itu persentasenya 91, 05 % dari perkara yang masuk.[7]

a. Keterbukaan
Secara umum, para informan dari unsur TNI dalam penelitian ini berkeyakinan bahwa berdasarkan legalitas formal yang dimiliki dan berdasarkan praktik pelaksanaan peradilan militer selama ini,  Independensi peradilan militer dapat dijamin dan dipertanggungjawabkan. Bahwa proses peradilan militer tidak se-“angker” dan se-tertutup yang dibayangkan oleh masyarakat karena sidang  di pengadilan militer  terbuka dan bisa dilihat oleh publik dan pengadilan militer sudah mempertimbangkan suara korban[8] sifat keterbukaan ini berlaku pada semua kasus kecuali kasus-kasus tertentu yang sifatnya tertutup. Selain sanksi hukuman penjara, sebagai hukuman disiplin dikenakan juga saksi lain yaitu sanksi administrasi sesuai peraturan tahun 2008 tentang perlakuan sanksi dimana terdapat juga putusan disiplin yakni penundaan pendidikan, jabatan, dan kenaikan pangkat.[9]

b. Independensi
Independensi Peradilan Militer disoal oleh banyak pihak. Militer seolah mendapatkan ‘previlege’ dalam peradilan, meskipun yang dilakukan adalah tindak pidana umum sekalipun. Tidak adanya perbedaan terhadap apa yang dilakukan oleh peradilan militer dengan peradilan umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dinyatakan bahwa para hakim pengadilan militer berada langsung di bawah Mahkamah Agung, sehingga sekiranya dapat menjamin independensi hakim. Pengadilan militer bersifat pasif artinya hanya menyidangkan berkas perkara yang dilimpahkan oleh Oditur Militer, Jadi kemungkinan hasil persidangan berbeda dengan berkas perkara yang dilimpahkan sangat kecil.

3. Pembinaan dan Sub kultur Militer
Militer dalam beberapa hal berbeda dengan masyarakat sipil biasa. Tentara/militer dilatih untuk menjaga wilayah kedaulatan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi pertahanan. Sejak awal masuk, calon tentara dilatih dan dididik dengan intensif dengan metode militer untuk dapat menghasilkan tentara yang berkualitas. Pada persoalan hukum yang melibatkan tentara, khususnya sebagai pelaku tindak pidana, tentara tetap wajib menjalani proses hukum yang berlaku. Namun demikian, karena mereka adalah aset negara yang telah dididik dan dilatih dengan nilai-nilai militer yang ketat, maka meskipun menjalani proses hukum, bahkan sampai dengan penahanan dan pembinaannya, mereka tetap harus selalu menggunakan nilai-nilai militer. Artinya, pada saat ditahan atau dipenjara,  tentara harus tetap mendapatkan pembinaan kemiliteran dalam rangka menjaga stamina dan kemampuannya dalam bidang kemiliteran.

Diakui oleh para informan penelitian ini, bahwa subkultur TNI dianggap berbeda dengan masyarakat sipil pada umumnya. Kultur yang ada sedemikan rupa membentuk karakter militer. Karakter yang dihasilhan dari subkultur ini mengharuskan militer “tetap” pada kulturnya dan ada kekhawatiran dari para prajurit yang berada ditingkat bawah mengenai siapa yang berwenang untuk menangkap, memeriksa dan menyidangkan tindak pidana umum yang mereka lakukan dan yang paling dikhawatirkan adalah dampak yang akan terjadi jika tindak pidana umum dimasukkan dalam peradilan umum karena prajurit dalam melakukan kegiatan harus atas perintah atasan dan tidak boleh bergerak sembarangan, hal ini yang membedakan militer  dengan sipil dan semuanya harus  terkontrol. Selama ini yang terjadi adalah jika ada anggota militer yang dipanggil oleh oleh polisi harus terlebih dahulu melaporkan ke atasannya karena militer merasa bahwa polisi tidak mempunyai hak untuk memanggil mereka.

Resume Tim;  Pemidanaan Umum Bagi Tindak Pidana yang Dilakukan Militer
Prinsip–prinsip peradilan berperspektif HAM hanya dapat dijalankan pada peradilan pidana umum karena merupakan standar yang dijadiakan acuan bagi dunia internasional. Prinsip–prinsip ini sudah tercermin dalam sistem peradilan pidana umum di Indonesia. Beberapa argumen yang menjadi kekhawatiran Militer Indonesia tentang tidak dimungkinkannya pengadilan pidana umum oleh kalangan militer sesungguhnya tidaklah beralasan.

Pada dasarnya kekhawatiran militer bertentangan dengan sistem tata negara dan tata peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia. Ketentuan yang termaktub dalam pasal 3(4) huruf a dan b Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pasal 65 ayat (2) Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia yang isinya menyerahkan militer yang melakukan tindak pidana umum ke peradilan umum, telah menjadi hukum positif yang berlaku di seluruh wilayah RI. Artinya, sebagai negara hukum, supremasi hukum harus ditegakkan. Adapun kompleksitas hukum yang dikhawatirkan sebagai imbas dari pengaturan tersebut sedianya menjadi konsekuensi logis dari pengaturan hukum yang telah menjadi aturan yang mengikat bagi semua. Untuk itu, sesungguhnya tidak ada alasan bagi militer untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana umum pada peradilan umum karena rasa keadilan (right to justice)  hanya dapat diterapkan jika hal itu terjadi.

Proses Peradilan Militer
Landasan hukum adanya peradilan militer adalah Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang telah mengalami amandemen. Peradilan Militer secara khusus  diatur melalui Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Peradilan Militer di Indonesia juga menggunakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku di sistem peradilan manapun di Indonesia seperti mempertimbangkan suara atau pendapat korban, keterangan ahli, saksi dan hati nurani hakim. Pengadilan militer terbuka dan bisa dilihat atau diakses public.

Hukum acara pidana militer yang berlaku saat ini masih di dalam satu undang-undang yang terdapat dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer dimana seharusnya terpisah dalam undang-undang tersendiri.

Ada standard-standard Ham yang tidak sepenuhnya di adopsi didalam undang-undang peradilan militer dan ketika peradilan militer ini juga mengadili masalah tindak pidana umum yang melibatkan masyarakat sipil akan terjadi benturan karena akan dibawa ke pengadilan militer dan mengharuskan masyarakat sipil untuk tunduk pada aturan yang ada. Penyelesaiannya adalah undang-undang harus memberikan batasan yang jelas mana yang merupakan tindak pidana militer dan menjadi kewenangan peradilan militer dan mana yang merupakan tindak pidana umum yang menjadi kewenangan dari peradilan umum. Sehingga untuk perkara-perkara yang menyangkut masalah hak-hak masyarakat sipil itu tidak harus di adili dalam pengadilan murni militer seperti kasus puncak jaya dan lain-lain akan tetapi bisa juga dibuka mekanisme lain.

Namun patut disayangkan, seperti juga sistem peradilan militer yang berlaku tidak didasar pada pola kekuasaan kehakiman yang berbasis pada supremasi sipil. Sehingga ada keharusan untuk melakukan perubahan pada peradilan militer agar dalam penerapannya tunduk pada otoritas peradilan sipil, baik di tingkat pertama dan/atau di tingkat kasasi (civil review). Disamping itu, kritikan atas sistem peradilan militer terletak pada definisi tindak pidana militer yang bersifat arbitrer, yaitu disandarkan pada status militer dan ditentukan secara sepihak oleh militer. Dalam hal ini perluasan subyek peradilan militer, yang dapat mencakup atau memasukkan sipil (civilians) dalam yurisdiksi peradilan militer, disarankan untuk ditinjau kembali.

Persoalan jurisdiksi ini sendiri harus jelas dimana Peradilan Militer hanya menangani kejahatan hukum militer yang berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Persoalannya adalah apabila semua persoalan yang terkait dengan militer harus dibawa atau dihadirkan di Pengadilan Militer. Dikuatirkan dengan berlakunya peradilan militer, oknum TNI cenderung tidak tunduk pada control hukum sipil yang mengaturnya sehingga semua persoalan hukum akhirnya harus diselesaikan, diadili, secara ekslusif, dalam proses peradilan militer. Oleh sebab itu terkesan Peradilan Militer bersifat subjektif dari perspektif militer sehingga tidaklah relevan mendorong peradilan militer yang berbasis HAM karena memang tidak mungkin diterapkan prinsip-prinsip HAM dalam sebuah Peradilan Militer.

Begitu pula model administrasi peradilan militer yang eksklusif, baik dalam peradilan pidana militer maupun peradilan tata usaha militer, terkesan tidak memberikan ruang bagi pihak di luar militer untuk melakukan pengawasan proses peradilan militer. Bahkan, mekanisme hukum pidana militer saat ini belum mengadopsi perkembangan baru di bidang kemiliteran, misalnya jenis dan sifat perang, termasuk hokum perang, teknologi dan cara perang.[10] Begitupun terkait kemandirian peradilan militer yang dipersoalkan karena berada di bawah komando panglima. Hal ini merasuk dalam sistem kekuasaan kehakiman misalnya dalam pengangkatan hakim agung militer maupun ketua MA dari militer.

Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, para tersangka memiliki hak untuk didampingi penasehat hukum. Pemberian penasehat hukum tidak dipungut biaya alias gratis bagi tersangka/terdakwa yang tidak mampu menyediakannya sendiri. Hal ini termasuk pelibatan lembaga bantuan hukum dalam pendampingan terhadap korban maupun terdakwa. Namun dalam praktek selama ini, oknum TNI yang bermasalah hukum tidak pernah mengambil pengacara dari luar karena menyangkut biaya. Penasehat hokum dalam KUHAP bisa terlibat dan aktif dalam semua proses sedangkan dalam peradilan militer ada alasan-alasan tertentu dimana penasehat hokum hanya boleh mengikuti dari jauh dalam proses terutama yang menyangkut tentang keamanan negara dan rahasia Negara.

Adanya kultur militer yang berbeda dengan masyarakat sipil dimana militer merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sipil dan polisi yang menyebabkan militer tidak mau ditangkap, diperiksa bahkan diadili oleh sipil. Peradilan militer memang diatur sesuai dengan kultur yang ada didalam militer itu sendiri, sehingga kalau kita lihat dari perspektif hak asasi manusia banyak yang tidak sejalan karena peradilan militer mendudukkan diri dalam sistem yang berkembang di militer itu sendiri.

Militer dalam hal ini TNI merasa sangat sulit untuk menyesuaikan kultur militer dengan kultur sipil. Pada prinsipnya, anggota militer tidak alergi terhadap pengadilan umum namun kultur militer tidak bisa cepat berubah. Dalam prakteknya selama ini, tindak pidana yang dilakukan untuk menghukum oknum anggota TNI oleh polisi bahkan tidak maksimal dan tidak efektif. Persoalan beda budaya ini juga tidak hanya terlihat pada proses penyidikan tapi terjadi juga pada proses-proses lainnya termasuk proses pengambilan keputusan oleh hakim.

Kelompok militer melihat ada kepentingan militer yang lebih besar dari kepentingan masyarakat yang harus didahulukan dimana masyarakat mulai dari polisi, jaksa dan hakim tidak mengetahuinya. Sebagai contoh, seorang oknum TNI yang melakukan tindak pidana umum tapi memiliki keahlian khusus sebagai penjinak bom atau berasal dari kesatuan khusus perang. Jika oknum ini diperlakukan sama dengan pelaku tindak pidana sipil dalam system peradilan umum, dikuatirkan yang bersangkutan akan melakukan perlawanan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Akibatnya bisa berbalik menjadi ancaman bagi keselamatan publik.

Untuk mengatasi persoalan yang berkaitan dengan perbedaan kultur militer versus polisi (sipil), sejumlah alternative solusi disampaikan dimana salah satunya adalah merombak dengan memasukkan unsure sipil dalam system peradilan militer seperti penyidik dan jaksa berasal dari militer sementara hakimnya sipil. Mengingat semua system peradilan di Indonesia berada di bawah Mahkamah Agung, seharusnya tidak ada halangan secara legal standing. Apalagi Undang-Undang MA mengatur pengadilan satu atap sehingga, idealnya, kendala-kendala baik jarak, waktu dan biaya, tidak jadi penghalang. Namun terlepas dari perdebatan tentang perbedaan budaya antara militer versus sipil, banyak juga pihak yang meminta agar persoalan budaya diabaikan dan focus pada pemenuhan keadilan korban dengan memaksakan peradilan umum bagi oknum TNI yang melakukan tindak pidana.

Penjelasan di atas tidak menutupi kelemahan yang terjadi pada sistem peradilan militer selama ini. Tidak seperti peradilan umum, proses peradilan pidana militer, yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan, membedakan tingkat kewenangan peradilan berdasarkan kepangkatan dimana Kapten kebawah disidang di pengadilan militer sedangkan mayor keatas baru di pengadilan tinggi militer.

Peran yang paling besar pada sebuah kasus di militer adalah Papera,  sebelum sebuah perkara itu sampai pada penyidik maka ditentukan terlebih dahulu oleh papera apakah kasus itu bisa diteruskan perkaranya atau tidak dan setelah itu baru diserahkan ke POM untuk di tindaklanjuti perkara, Ankum punya kewenangan untuk menyidik perkara untuk mengetahui sejauh mana perkara tindak pidana itu dilakukan namun sifatnya hanya penyelidikan pemeriksaan sedangkan untuk kasus pidana langsung diserahkan ke POM.

Ada spesifikasi yang membedakannya dengan peradilan umum dengan adanya otoritas-otoritas seperti Ankum dan Papera mengakibatkan tingkat pertanggungjawaban lebih besar dibebankan kepada bawahan (individu) dan secara prinsipil merupakan obstruction of justice. Pertanggungjawaban individual terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI direduksi ke dalam keputusan administrasi pejabat (Papera) atau pejabat administrasi militer mengambil alih fungsi peradilan (Ankum).
Besarnya peran Perpera (Perwira Penerima Berkas) dalam memutuskan sebuah perkara dilanjutkan atau tidak ke muka pengadilan dikuatirkan dapat memungkinkan terjadinya abuse of power dari papera.

Sehingga tidaklah mengherankan jika dalam sejumlah kasus yang berperkara di pengadilan militer sebagian besar merupakan pengadilan bagi prajurit-prajurit kelas menengah ke bawah. Hal ini memperlihatkan telah terjadi ketidakadilan (pelanggaran terhadap asas fair trail) dimana terkesan pengadilan bagi perwira militer yang berposisi menengah ke atas tidak pernah dilakukan.
Dalam peradilan militer penggeledahan dan penyitaan hanya cukup dengan surat perintah dari komandan hal ini berbeda dengan peradilan umum yang harus dengan izin dari pengadilan negeri, hal ini dianggap kurang memenuhi rasa keadilan karena tidak ada legitimasi yang jelas bagi tersangka.

Keterlibatan Panglima TNI dan Papera dalam system peradilan militer telah melanggar asas kemandirian dan imparsialitas peradilan (Judiciary Independence). Kemandirian ini berarti bahwa peradilan baik sebagai lembaga dan juga hakim-hakim dalam memutuskan kasus-kasus tertentu harus mampu melaksanakan tanggungjawab profesionalnya tanpa dipengaruhi oleh eksekutif, legislatif atau pihak-pihak lain yang tidak semestinya.

Dalam sistem hukum yang demikian tidak akan lengkap tanpa adanya kemandirian para pengacara/advokat yang mampu melaksanakan pekerjaanya secara bebas dan tanpa takut adanya balas dendam.  Kemandirian pengacara memainkan peranan yang penting dalam membela hak asasi manusia dan hak-hak fundamental selamanya, suatu peranan yang bersama-sama dengan para hakim dan jaksa yang independen dan imparsial, adalah hal yang sangat perlu untuk memastikan bahwa rule of law berjalan, dan hak-hak individu dilindungi secara efektif. Hal ini terlihat dari minimnya keterlibatan pengacara dari luar institusi militer dalam melakukan pembelaan terhadap tersangka atau terpidana selama proses persidangan pidana militer.

Sebuah perkara terlepas lengkap atau tidak secara hukum formil dan materil atau memiliki bukti yang kuat ataupun tidak wajib dibawa ke muka peradilan militer. Di Peradilan Militer, kewenangan hakimlah yang dipakai dalam menilai terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan bukti-bukti hukum yang ada. Alasan setiap perkara wajib dibawa di muka peradilan militer lebih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan terkait dengan hak-hak korban serta menjaga citra pengadilan militer dimata public. Disamping itu, selama ini terkesan peradilan militer tidak transparan, tidak bersih dan kesan negatif lainnya padahal kenyataannya bertolak belakang dari semua tuduhan tersebut. Jika sebuah berkas perkara masuk ke pengadilan, maka kewenangan Hakimlah yang kemudian menilai dan berkesimpulan bahwa si terdakwa dibebaskan karena fakta dan bukti hukum yang terbatas atau benar-benar terbukti melakukan tindak pidana. Proses mutasi yang cepat bagi hakim juga merupakan kendala utama dalam penanganan kasus di militer karena kasus belum selesai diputus hakimnya sudah dipindahkan ke daerah lain.

Terkait dengan masalah berat ringannya hukuman yang ditetapkan hakim pengadilan militer, diakui bahwa terdapat perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan system peradilan umum. Kalau di umum seseorang yang divonis hukuman penjara tidak akan mendapat hak-haknya berupa gaji atau tunjangan lainnya. Kalau di peradilan militer, tentara sudah salah, dihukum tapi gaji jalan terus. Ini akan merugikan keuangan Negara. Padahal, disisi lain, tenaganya masih dibutuhkan oleh Negara karena mungkin yang bersangkutan memiliki keahlian tertentu di kesatuannya. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka terdakwa tidak mungkin dikenakan hukuman berat. Yang kedua, terkait dengan masalah pembinaan. Jika seorang oknum TNI divonis bersalah dalam sebuah kasus pidana di Peradilan Militer kemungkinannya pangkat terpidana tersebut ditunda beberapa tahun. Hal yang seperti ini tidak diketahui oleh public (sipil) bahwa hukuman bagi oknum TNI yang melakukan tindak pidana itu berat karena sudah dipenjara, pangkat dan gajinyapun diturunkan walaupun tidak sampai dipecat dari kesatuannya jika hanya melakukan tindak pidana ringan.

Dari perspektif militer, sanksi/hukuman terhadap oknum TNI di pengadilan militer adalah sangat berat jika dibandingkan di pengadilan umum. Selain sanksi hukuman penjara dan hukuman disiplin, yang bersangkutan juga dikenakan sanksi lain sesuai peraturan tahun 2008 yang setidak-tidaknya terdiri dari 3 hal, yakni ditunda kenaikan pangkatnya, untuk mendapat pelatihan atau pendidikan dan penundaan jabatan. Mungkin tidak ada pemecatan di TNI bagi oknum yang melakukan tindak pidana tapi sanksi administrative sangatlah berat.

Banyak kasus-kasus yang tidak pernah sampai ke meja pengadilan, misalnya kasus pemerkosaan banyak terjadi di pedalaman papua yang kemudian diselesaikan secara adat setempat yakni penggantian berupa kesepakatan yang dilakukan dari musyawarah adapt karena kurang pendidikan dan pengetahuan bahwa mereka dapat mengajukan tuntutan kepada pelaku militer atas kasus pemerkosaan tersebut. Hal inilah yang dinilai sangat menyimpang dan tidak memenuhi rasa keadilan terhadap korban.

Sejumlah alternative solusi disampaikan dimana salah satunya adalah merombak dengan memasukkan unsure sipil dalam system peradilan militer seperti penyidik dan jaksa berasal dari militer sementara hakimnya sipil. Mengingat semua system peradilan di Indonesia berada di bawah Mahkamah Agung, seharusnya tidak ada halangan secara legal standing. Apalagi Undang-Undang MA mengatur pengadilan satu atap sehingga, idealnya, kendala-kendala baik jarak, waktu dan biaya, tidak jadi penghalang. Namun terlepas dari perdebatan tentang perbedaan budaya antara militer versus sipil, banyak juga pihak yang meminta agar persoalan budaya diabaikan dan focus pada pemenuhan keadilan korban dengan memaksakan peradilan umum bagi oknum TNI yang melakukan tindak pidana.

Adanya beberapa kasus yang terjadi seperti di papua dan medan dimana hasil putusannya tidak mempertimbangkan rasa keadilan bagi korban dengan alasan korban tidak dapat dihadirkan ke persidangan, padahal korban sendiri merasa diintimidasi oleh TNI. Bukti yang disampaikan hanya berdasar keterangan tedakwa, tanpa mempertimbangkan kesaksian korban. Hasil putusannya pun sangat jauh dari konsep fair trial, pemenuhan rasa keadilan, dan mengesampingkan prinsip efectif remedies. Bahkan putusan akhir dari peradilan militer tidak diterima oleh korban dan seringkali vonis yang dijatuhkan sangat ringan dan berbeda dengan tindak pidana yang sama yang dilakukan oleh sipil.

Pelaku atau korban dapat melakukan banding atas putusan hakim pengadilan militer namun kenyataannya korban sangat sulit dalam mengakses hasil putusan pengadilan militer dan tidak adanya hak koreksi  untuk melakukan banding karena tidak adanya jaminan perlindungan hokum serta tidak dilibatkan dalam proses penyelidikan sampai pada pengadilan.

Hal ini menjelaskan bahwa penjelasan normatif dari actor-aktor dalam system peradilan militer masih sebatas pandangan subyektif militer. Tidak adanya pemulihan yang efektif (effective remedies) bagi korban tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer memperkuat argument bahwa system peradilan militer sebagai sebuah institusi impunitas. Apalagi jika dilihat dari otonomi institusi dan proses peradilan militer yang jauh dari kontrol sipil selama ini yang telah menyumbangkan superioritas dan dominasi militer dalam semua bidang. Pemberian hukuman yang ala kadarnya bagi terpidana anggota militer serta lemahnya pengawasan terkait dengan penahanan tersangka pelaku tindak pidana dari kalangan militer memberi kesan militer enggan mengadili aparat militer yang bersalah. Hal ini memberikan sikap pesimisme korban dalam upaya mencari keadilan.

Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan Militer
Menggambarkan kondisi pembinaan di pemasyarakatan militer menjadi bahan bagi upaya kemungkinan pembinaan narapidana militer di pemasyarakatan umum dengan mengacu pendapat para ahli yaitu bahwa narapidana militer bisa dibina di pemasyarakatan umum dengan perlakukan khusus. Perlakuan khusus dimaksud yang sesuai dengan pola pembinaan militer di pemasyarakatan militer dengan berbagai fasilitas dan kegiatan/program untuk menjaga performa fisik dan mental narapidana militer pasca menyelesaikan masa pembinaan.

Ada tiga pendapat mengenai pembinaan militer yang terungkap dalam penelitian ini. Pendapat pertama intinya menyampaikan ketidaksetujuan jika narapidana militer sebagai pelaku kejahatan pidana umum disatukan dengan narapidana umum dalam sebuah pembinaan di lembaga pemasyarakatan umum. Pendapat kedua, menyatakan setuju jika narapidana militer dibina di peradilan umum dengan catatan adanya perlakuan yang berbeda dengan narapidana lain (sipil). Pendapat terakhir menyampaikan setuju jika militer dibina di lembaga pemasyarakatan umum dan diperlakukan sama dengan narapidana lain. Berikut pendalaman dari ketiga pendapat: 

1.       Narapidana militer tidak dimasukan dalam lembaga pemasyarakatan umum,
Ada satu alasan yang mengemuka bahwa prajurit militer yang dibina di pemasyarakatan militer adalah prajurit yang kelak setelah usai masa pembinaan akan kembali ke barak, bertugas sebagai prajurit sesuai dengan sumpah Sapta Marga. Artinya mereka yang diputus bersalah melakukan kejahatan pidana umum pada pengadilan militer kemudian dibina di pemasyarakatan militer (Masmil) masih memiliki kesempatan melanjutkan tugasnya sebagai prajurit.

Kondisi ini tentu berbeda, sesuai ketentuan yang ada pada peradilan militer jika mereka diputus dengan kasus tertentu misalnya terkait narkoba dan asusila, umumnya mereka atas kasus-kasus ini langsung dipecat dan dibina di peradilan umum (pernyataan sejumlah ahli  mengenai pernyataan terakhir ini kenyataannya tidak benar-benar terjamin. Dari data-data yang ditemukan mereka yang terkena dua kasus tersebut ternyata ada yang tidak mengalami pemecatan atau masih diperkenakan bertugas pasca pembinaan di pemasyarakatan militer).

Berbeda dengan narapidana umum di lembaga pemasyarakatan umum, prajurit militer  yang telah diputus bersalah meski tidak dipecat kemudian dibina di pemasyaratan militer, sesuai ketentuan masih memperoleh pendapatan atau gaji sesuai kepangkatannya sebagaimana sebelum mereka dibina.  Mereka yang dibina di pemasyarakat militer tidak dibedakan jenis kesalahan/pelanggaran yang mereka lakukan, artinya mereka yang dianggap melakukan kejahatan pidana diperlakukan sama dengan prajurit lain yang dibina di pemasyarakatan militer.

Berdasarkan penjelasan sejumlah ahli, kondisi diatas jelas berbeda bagi masyarakat sipil yang dibina di peradilan umum. Mereka yang dibina, adalah orang-orang yang seharusnya  kehilangan hak-haknya termasuk dalam hal pekerjaan (kecuali PNS), karena mereka umumnya mengalami pemecatan pasca putusan pengadilan. jika demkian mereka umumnya tidak mendapatkan pendapatan mengingat keberadaan mereka berada di lembaga pemasyarakatan dan tidak bekerja. Ada satu hal penting yang dikemukakan oleh  kalangan ahli yang tidak setuju jika prajurit militer dimasukan dalam satu sistem yang sama dengan orang sipil.

Terkait rasa keadilan, ada anggapan bahwa peradilan militer cenderung tidak memperlakukan korban dengan adil atau dengan kata lain jika prajurit militer sebagai pelaku lebih diistimewakan dalam peradilan militer jika kasus terkait sipil sebagai korban. Menurutnya peradilan militer justru memperlakukan sangsi yang berat dengan memberlakukan pemecatan terutama terkait kasus narkoba dan asusila. Sangsi dalam militer ini tidak akan ditemukakan dalam institusi negara manapun terutama pada kalangan pegawai negeri sipil.  Sebagai pembanding, pemberlakukan sangsi bagi PNS menurut para ahli ini justru tidak mengenal pemecatan. Dalam peraturannya, apabila seorang PNS melakukan  kejahatan atau pelanggaran tidak ada sanksi berupa pemecatan.   kondisi ini jelas berbeda di kalangan militer.

Di satu pihak ketentuan Sapta Marga yang memberlakukan kembali ke barak bagi narapidana militer dengan pelanggaran atau kejahatan pidana, di pihak lain jika mereka melakukan dua kejahatan tertentu (asusila dan narkoba) justru tanmpa ampun mengalami pemecatan. Jika demkian, untuk menjamin narapidana militer dapat kembali bertugas pasca pembinaan, sejumlah kegiatan fisik dan mental dilakukan di dalam pemasyarakatan militer.

Sebagai turunan alasan Sapta Marga, kondisi lembaga pemasyaraktan umum sangat tidak memungkinkan bagi prajurit militer yang diputus bersalah karena kejahatan pidana bisa dibina di pemasyarakatan umum mengingat ketidaktersediaan sejumlah fasilitas dan kegiatan fisik dan mental yang dapat menjaga performa para narapidana militer saat mereka harus kembali ke barak.

Argumentasi lain, ketidakmungkinan menyatukan narapidana militer dalam pemasyarakatan umum, karena kekhawatiran timbulnya bahaya dimana keberadaan militer dapat menimbulkan masalah. Kemungkinan yang timbul, kalau tidak yang bersangkutan (narapidana militer) dapat menggalang masa untuk memberontak atau yang bersangkutan dapat menjadi bulan-bulanan bagi narapidana lain.

2.     Narapidana militer dibina di lembaga pemasyaratan umum dengan syarat perlakuan khusus
Pendapat kedua, menekankan pada pemberian fasilitas khusus/berbeda bagi narapidana militer dibanding narapidana umum mengingat mereka masih mengemban Sapta Marga, yaitu kembali bertugas pasca pembinaan. Fasilitas dimaksud, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang dapat menunjang performa fisik dan mental mereka jika mereka harus kembali bertugas di dalam lembaga pemasyarakatan. Fasilitas dimaksud, misalnya lahan untuk lapangan yang luas untuk latihan berbaris atau apel, adanya alat-alat halang rintang untuk menjaga performa fisik dan sarana olah-raga.  Selain ketersediaan fasilitas, sejumlah kegiatan dalam lembaga pemasyarakatan tersebut harus diprogram secara khusus bagi penjagaan performa fisik dan mental seperti kegiatan senam pagi, baris berbaris, keterampilan keahlian prajurit dan pelatihan-pelatihan penunjang bagi prajurit. Harapannya, jika narapidana militer harus menghuni lembaga pemasyarakatan umum mereka tidak kehilangan keahlian dan keterampilannya  pasca pembinaan.

2.       Narapidana militer dimasukan dalam lembaga pemasyarakatan umum
Selain kedua anggapan diatas, para ahli lain menyampaikan argumentasi lain yang bertolak belakang dengan kedua argumentasi diatas, para ahli ini menyampaikan bahwa prajurit militer dengan kejahatan pidana umumnya seharusnya mengalami pembinaan yang sama dengan masyarakat sipil lainnya.

Perlakuan yang berbeda bagi narapidana militer yang dibina di pemasyarakat militer dengan masyarakat sipil umumnya di pemasyarakatan umum seharusnya tidak terjadi. Misalnya dalam konteks pembarian pendapatan/gaji yang masih diberikan kepada narapidana militer di pemasyarakatan militer. mengacu pada alasan dua pendapat ahli diatas terkait alasan Sapta Marga, artinya setelah dibina mereka akan kembali ke barak bertugas, menurut pendapat ahli katagori ketiga, seharusnya pasca pembinaan di lembaga pemasyarakatan umum, narapidana militer diberikan porsi latihan fisik dan mental untuk mengembalikan performa fisik dan mental. Artinya perajurit militer  yang melakukan kejahatan pidana umum seharusnya dibina di lembaga pemasyarakatan umum dengan waktu sesuai putusan pengadilan kemudian pasca pembinaan mereka dikembalikan ke institusinya, apakah akan ditindaklanjuti untuk kembali bertugas atau tidak. Jika kembali bertugas dan sesuai Sapta Marga seharusnya mereka diberikan upaya-upaya pelatihan untuk mengembalikan performa fisik dan mentalnya.

Pelaku tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer seharusnya tetap dimasukkan di dalam lembaga pemasyarakatan umum karena tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana umum namun dengan tempat yang berbeda yaitu dalam blok tersendiri seperti yang dimiliki lapas cipinang untuk pelaku tindak pidana teroris dan diberikan kebebasan untuk bergaul dengan narapidana umum lainnya, setelah selesai menjalani masa hukuman barulah tugas dari TNI untuk melakukan pembinaan kepada anggotanya untuk dapat kembali ke kesatuannya.

SIMPULAN
prinsip-prinsip peradilan yang berperspektif hak asasi manusia adalah prinsip yang menjamin tercapainya keadilan yang menganut peradilan yang  berperspektif HAM. Beberapa prinsip yang termasuk dalam prinsip peradilan yang berperspektif HAM adalah prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak, prinsip kemandirian dan imparsialitas, dan prinsip pemulihan yang efektif.

Terdapat beberapa ketentuan yang seharusnya mendasari TNI untuk tunduk pada peradilan umum dimulai dengan adanya Pasal 3 ayat 4a dan b Ketetapan No. VII/MPR/2000, Pasal 65 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI pada Pasal 65 (2) yang semuanya mengisyaratkan adanya ketentuan mengenai Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Namun setidaknya ada 3 keberatan pihak TNI terkait wacana pelaku tindak pidana yang berasal dari militer diadili di peradilan umum, yaitu masalah peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak complay, proses penyelidikan dan penyidikan dimana militer tidak menginginkan diperiksa dan diadili oleh sipil dan masalah pembinaan.

Berdasarkan hasil temuan ini maka dapat disimpulkan bahwa ada 3 pendapat yang berkenaan mengenai proses pada peradilan militer, yaitu;
1.       Militer pelaku tindak pidana umum ditangkap dan diperiksa oleh polisi militer dan penuntutan dilakukan oleh oditur militer di peradilan umum dengan hakim sipil;
2.       Militer pelaku tindak pidana umum ditangkap dan diperiksa oleh polisi militer kemudian penuntutan dilakukan oleh oditur militer atau jaksa di peradilan umum dengan hakim sipil;
3.       Militer pelaku tindak pidana umum ditangkap oleh polisi militer bersama-sama dengan polisi dan penuntutan dilakukan oleh oditur militer atau jaksa di peradilan umum dengan hakim sipil.
Agar tidak terjadi impunitas, maka sangat disarankan untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan pendapat ketiga karena subyek pelaku adalah militer maka yang berhak menangkap adalah polisi militer namun karena merupakan delik/kejahatan yang dilakukan adalah tindak pidana umum yang merupakan wewenang dari kepolisian maka diharapkan keduanya dapat berkordinasi dan hakim yang menangani adalah hakim sipil.

Perajurit militer  yang melakukan kejahatan pidana umum seharusnya dibina di lembaga pemasyarakatan umum dengan waktu sesuai putusan pengadilan kemudian pasca pembinaan mereka dikembalikan ke institusinya, apakah akan ditindaklanjuti untuk kembali bertugas atau tidak. Jika kembali bertugas dan sesuai Sapta Marga seharusnya mereka diberikan upaya-upaya pelatihan untuk mengembalikan performa fisik dan mentalnya.

REKOMENDASI
1.      Melakukan revisi terhadap undang-undang peradilan militer, dimana dalam perumusan RUU Peradilan Militer yang baru harus juga melihat kondisi real di lapangan terkait dengan praktek Peradilan Militer selama ini dan harus sesuai dengan prinsip peradilan yang berperspektif hak asasi manusia dan harus disesuaikan dengan undang-undang pokok kehakiman yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, TAP MPR No. VI/MPR/2000, TAP MPR No.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, misalnya masalah pemecatan hakim yang dilakukan oleh panglimanya sedangkan dalam UU pokok kehakiman, pemecatan hakim harus dengan Kepres.
2.      Memisahkan secara tegas mana yang merupakan tindak pidana militer yang merupakan kewenangan dari peradilan militer dan tindak pidana militer yang merupakan kewenangan dari peradilan umum jadi tidak berdasarkan subyek/pelaku tindak pidana namun berdasarkan delik atau kejahatan yang dilakukan.
3.      Membuat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terpisah dengan Undang-Undang peradilan militer.
4.      Proses dalam Peradilan militer harus transparan dan dapat diakses oleh korban dan dapat diawasi oleh public.
5.      Kewenangan ankum dan papera harus dibatasi
6.      Pembinaan bagi militer yang melakukan tindak pidana umum harus dilakukan di lembaga pemasyarakatan umum
7.      Perlu adanya sarana dan prasarana pemasyarakatan militer di semua daerah terutama daerah konflik.


-----------------------------------------------------------selesai---------------------------------------------------------------




[1] Wawancara Tim Komnas HAM dengan Korban I, 20 Mei 2011
[2]  Hidayat, FGD Komnas HAM dengan Pemangku Kepentingan, Medan 18 Mei 2011
[3] Menembus Jalan buntu, KontraS, 2009
[4] Hidayat, FGD Komnas HAM dengan Pemangku Kepentingan, Medan 18 Mei 2011
[5] idem
[6] S. Marpaung, FGD Komnas HAM dengan Pemangku Kepentingan, Medan 18 Mei 2011
[7] Donni (Kasidik Pomdam I Bukit Barisan)
[8] Hidayat
[9] S Marpaung
[10] Lihat Kajian Kritis terhadap UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer yang disusun oleh Indonesian Working Group on Security Sector Reform, Jakarta, Agustus 2002 yang difasilitasi oleh ProPatria.

Kamis, 10 November 2011

Kegelisahan soreku.....

Bukan karena......
aku tak sayang dan tak cinta
kalau aku harus diam
karena memikirkan permintaanmu itu

[ gelisah menjelang surup ]

Sabtu, 10 September 2011

cinta...........

terimakasih atas kebahagiaan yang telah kau berikan kepadaku...
sungguh ini merupakan pengalaman yang tidak mudah dilupakan
mencintai dan dicintai selamanya
walau banyak badai dan halangan yang merintangi

tetaplah menjadi bagian hidup dan belahan jiwaku
karena tanpamu hidupku terasa hampa
tanpamu aku rapuh

cinta....
biarkan hidupku ada bersamamu
biarkan kebahagiaan ini tetap jadi milik kita
hanya Tuhan yang tahu
namun kita harus berusaha tetap menjadi kita
bukan aku atau kamu

untuk seseorang
cintaku....
luv u forever.

Minggu, 31 Juli 2011

Kutabur Rindu Menjelang Romadhon

Saat ini.....
adalah romadhon pertama yang akan kulewati bersamamu
akan ada rindu
akan ada harap
juga akan ada tangis bahagia
karena malamku juga akan ditemani olehmu

di bulan suci ini
akan terselip doa harapku
semoga rindu akan hadir
tidak pula hanya dalam harap
tetapi nyata.........disini

ya Alloh......ampuni salahku
jika ini salah

karena ingin kuhadirkan dia disini
dan memberinya seluruh rinduku

Selasa, 26 Juli 2011

gak ada judul

Kusuka caramu mencintaiku
kusuka caramu membuatku bahagia
aku tersanjung mendapatkan perhatian dan sayangmu
tiada kata yang bisa diucapkan
selain I LOVE YOU
terimakasih buat semuanya